Sebagai ayah, aku sering mengalami momen di mana kemarahan terhadap anak meledak tanpa bisa kukendalikan. Namun, di balik kemarahan itu, sering muncul perasaan takut tiba-tiba. Pengalaman ini kerap menghantuiku. Saat anakku melakukan kesalahan kecil, aku sering bereaksi dengan marah dengan suara tinggi. Namun, setelah kemarahan mereda, aku sering merasa bersalah dan menyesal. Aku capek sendiri dan mbatin, ngapain aku memarahinya... toh dia juga tidak mengerti.
Kalau ada orang lain yang lihat, mungkin kemarahanku tampak seolah tidak mampu mengendalikan emosi. Aku tidak dapat menyangkalnya. Namun yang kemudian kusadari bahwa setiap kali aku marah, ada perasaan takut yang ikut hadir, seperti ketakutan yang sama dengan yang pernah aku rasakan belasan tahun yang lalu. Ini semakin membuatku menyadari betapa pentingnya mengelola emosi dengan lebih baik, terutama dalam perananku sebagai ayah. Menurutku, hal ini adalah bagian yang sangat penting dalam menjadi ayah yang baik dan bertanggung jawab.
Mengenal Inner Child
Aku ternyata memiliki inner child negatif dari masa lalu yang belum terselesaikan. Inner child adalah sekumpulan pengalaman masa kecil yang tidak terselesaikan dengan baik dan masih mempengaruhi perilaku kita saat dewasa. Dalam kasusku, respon kemarahan terhadap anak saat melakukan kesalahan adalah manifestasi dari luka batin yang belum sembuh.
Meskipun inner child juga bisa bersifat positif, pada umumnya inner child sering kali berhubungan dengan luka batin yang menyakitkan. Aku baru menyadari ini saat dewasa, sehingga apa yang kualami di masa kecil membekas dan menjadi luka yang belum sembuh.
Menyadari Luka dan Berusaha Menyembuhkan
Aku dibesarkan dalam pola asuh yang disiplin dan cenderung keras. Baru kemudian aku sadari bahwa hal ini menciptakan luka di hatiku. Namun, aku tahu bahwa aku tidak boleh berkubang pada luka masa lalu. Meskipun belum sepenuhnya sembuh, aku harus berusaha untuk tidak mewariskan inner child negatif ini kepada anakku. Aku harus memutus mata rantai ini agar anakku bisa tumbuh tanpa trauma yang kualami.
Mencari Jalan Tengah
Aku mulai belajar mengenali dan memahami inner child-ku. Aku sadar, langkah pertama adalah menerima bahwa luka itu ada dan berani untuk menyembuhkannya. Aku berusaha mengelola emosi dengan lebih baik, mencoba teknik-teknik relaksasi, meditasi, dan mungkin suatu saat akan kuberanikan diriku untuk berbicara dengan terapis untuk membantu proses penyembuhan.
Aku ingin anakku tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, tanpa harus merasakan ketakutan dan tekanan yang ku alami. Aku bertekad untuk memutus mata rantai inner child negatif ini, agar mereka tidak harus menghadapi trauma yang sama. Ini bukanlah tugas yang mudah, tapi setiap langkah kecil menuju perubahan adalah kemenangan tersendiri.
Refleksi dan Harapan
Menjadi ayah adalah perjalanan panjang yang penuh dengan pembelajaran. Setiap kali aku merasa marah atau takut, aku mencoba untuk berhenti sejenak, mengingat bahwa reaksi aku mungkin berasal dari luka masa lalu yang belum sembuh. Dengan begitu, aku bisa lebih bijaksana dalam merespon situasi, memberikan contoh yang lebih baik untuk anakku.
Aku berharap, dengan usaha yang terus menerus, aku bisa menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk anakku, dan pada akhirnya, menyembuhkan diri aku sendiri. Perjalanan ini mungkin panjang dan berliku, tetapi aku yakin, dengan cinta dan kesabaran, kita semua bisa mengatasi luka inner child dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Tulisan ini terinspirasi dari postingan mbak Icha di alamat berikut https://www.richamiskiyya.com/2020/12/10-cara-memutus-mata-rantai-inner-child-negatif.html
Post a Comment